KITAKATOLIK.COM—Hari itu, Rabu 8 Januari 2014. Ningrum Septianda dan suster Maria Patrice OSF bergandeng tangan menyeberangi Jalan Loji Kecil, Yogyakarta. Sebagai sesama mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, Yogyakarta, berjalan bersama menyeberangi jalan itu sangat lumrah. Tapi ketika peristiwa itu diabadikan Lexy Rambadeta sehari sesudahnya di akun facebooknya, reaksi positif pun datang dari mana-mana.
Foto kedua sahabat berpenutup kepala ini – yang satu bertudung, yang lain berjilbab – dinilai menunjukkan keindahan persahabatan antar umat beragama di Indonesia di tengah berbagai berita tentang peristiwa intoleransi yang terjadi.
Ningrum berpendapat, dalam kemajemukan, Yogyakarta masih mampu mempertahankan toleransi hingga saat ini. Semua suku, ras, dan agama hidup berdampingan dan bersaudara. Bagi dia, indahnya Yogya salah satunya di situ yaitu bersatu dalam perbedaan.
“Jadi ketika foto saya dengan suster beredar dan banyak responsnya, ini jadi pertanyaan, kenapa hal yang biasa di sini jadi begitu istimewa,” ujarnya sambil berharap agar persaudaraan antar sesama manusia tetap terus terjalin. Dengan demikian, kenyamanan dan perdamaian terus tercipta di Nusantara, bahkan di dunia.
Kita bersaudara
Berita tentang menguatnya intoleransi di tengah masyarakat kita memang sering membuat hal yang biasa – seperti foto wanita berjilbab berjalan sambil bergandeng tangan dengan biarawati katolik –terkesan sangat luar biasa. Beberapa faktor seperti tunggang agama untuk tujuan politik atau politisasi agama, meningkatnya fundamentalisme agama dan pola penyebaran agama yang kurang sopan telah menimbulkan gesekan-gesekan di tengah masyarakat.
Ketika gesekan-gesekan lokal itu digeneralisir, orang pun beranggapan bahwa ada gesekan secara merata antara umat Katolik dan Muslim di Indonesia. Padahal, seperti ditegaskan pastor Benny Susetyo Pr., itu hanyalah peristiwa lokal dan tak pernah boleh dipukulrata. “Itu kan kasus per kasus yang tidak boleh kita generalisir,” kata mantan Sekretaris Komisi HAK Konferensi Wali Gereja Indonesia ini.
Dalam pandangan kita, Umat Katolik dan umat Islam, adalah saudara. “Baik dalam dokumen Nostra Aetate maupun dokumen gereja lainnya, pandangan kita tentang umat muslim itu sangat positif. Bahkan Paus Fransiskus menegaskan bahwa kita bersaudara,” kata salah seorang pendiri Setara Institut ini.
Bahkan, dalam Konggres Ekaristi beberapa tahun lalu, Paus Fransiskus juga menekankan pentingnya dialog bersama umat muslim untuk membangun peradaban dunia ini yang dilandasi oleh empat nilai pokok yaitu keadilan, kemanusian, moralitas dan kejujuran.
Dialog yang dimaksud tidak sebatas pertukaran informasi atau diskusi soal agama, tapi berupa dialog kehidupan. “Dialog kehidupan itu adalah perjumpaan dalam kehidupan bermasyarakat, bagaimana kita menjadi garam dan terang dunia itu,” terang pastor Benny.
Kita harus membuktikan bahwa kita dengan umat muslim adalah saudara. Dan persaudaraan itu harus dibangun mulai dari akar rumput, dari tingkat RT dan RW. “Ya, kita harus membangun kerja sama, hidup bertetangga yang baik, saling silahturahmi, saling berbagi, dan saling menolong.
Introspeksi
Di beberapa tempat memang pernah terjadi gesekan antara umat Katolik dan Muslim. Tapi itu hanyalah kasuistis dan dilatari sebab-sebab hubungan antar manusia yang kurang harmonis. “Bila ada kasus-kasus seperti itu, kita juga harus mengintrospeksi diri, jangan-jangan kita pun kurang mampu membangun cinta kasih secara nyata.
Kesalehan pribadi itu penting. Tapi kesalehan sosial juga penting. Bahkan Kita Suci menegaskan, ketika saudaramu sakit, datangi dia dulu, jangan ibadah dulu. Kalau saudaramu kekurangan, berilah sesuatu, barulah kamu beribadah,” jelasnya.
Keterlibatan kita dalam masyarakat tidak hanya berupa sumbangan karitatif pada saat perayaan agama untuk kelompok kurang mampu saja.
“Tapi bagaimana kita membangun relasi, relasi untuk saling memberi dan berbagi, menyediakan waktu, mau bergaul. Jadi bukan sekedar sumbangan. Bukan pada saat kita perlu, lalu kita mendatangi mereka.” (Paul MG)