KITAKATOLIK.COM—Pernyataan ini keluar sendiri dari mulut Tuhan Yesus saat Ia mengutus kedua belas rasulNya. Ada beberapa pegangan atau protokol yang harus dilakukan oleh para murid Kristus di dalam menjalankan tugas perutusan itu.
Protokol pertama, berikan dengan cuma-cuma. Ditegaskan di sana bahwa tindakan pemberitaan tentang kedatangan Kerajaan Allah, penyembuhan orang sakit, membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta dan mengusir setan-setan dilakukan bukan untuk mendapatkan upah. Semua kemampuan itu adalah pemberian dari Tuhan dan harus digunakan untuk memperkenalkan dan memuliakanNya.
“Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma,” kata Yesus. (Matius 10:9).
Protokol kedua, praktekkan sikap lepas-bebas dari barang-barang duniawi, dari kegelisahan terkait makanan, pakaian, ketersediaan finansial, dan hidup berlebihan. “… sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya (Matius 10:11).
Protokol ketiga, selalu membuka percakapan dan pengalaman interaktif dengan memberi salam (damai sejahtera).
“Apabila kamu masuk kota atau desa, carilah di situ seorang yang layak dan tinggallah padanya sampai kamu berangkat. Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka. Jika mereka layak menerimanya, salammu itu turun ke atasnya, jika tidak, salammu itu kembali kepadamu.” (Matius 10: 12-13).
Protokol keempat, beralihlah ke tempat lain bila ada penolakan terhadap Kabar Gembira Keselamatan yang diwartakan atau disaksikan.
“Dan apabila seorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu.” (Matius 10: 14).
Kebaskanlah debu
Kembali ke pertanyaan pertama: Apa maksud pernyataan “kebaskanlah debu dari kakimu”? Tentu akan muncul banyak penafsiran. Pastor Mathias Thelen Pr, pastor Paroki Santo Patrik, Diosis Lansing, Michigan, USA yang juga Presiden dari Encounter Ministries memberikan beberapa pemahaman atas ungkapan “kebaskan debu dari kakimu” itu.
Pertama, mengacu pada tradisi dan adat Yahudi, tindakan mengebaskan debu di kaki merupakan simbol penghakiman.
Begini penjelasannya. Dalam tradisi masyarakat Yahudi terdapat istilah “tanah suci” atau “tanah perjanjian” dan “tanah kafir”. Saat mereka kembali dari tanah kafir dan masuk ke tanah suci, mereka harus mengebaskan debu dari kaki mereka karena negeri yang baru mereka tinggalkan itu termasuk dalam negeri kafir dan terkutuk.

“Jadi itu tindakan simbolis yang menegaskan bahwa setiap negeri yang tidak mau menerima Kabar Gembira dianggap terkutuk atau masuk dalam penghakiman,” katanya.
Kedua, mengebaskan debu dari kaki merupakan tindakan simbolis yang melukiskan bahwa mereka bebas dan tidak bertanggungjawab terhadap hukuman yang akan menimpa orang-orang yang menolak Kabar Gembira yang mereka bawa.
“Yesus memperingatkan para muridNya bahwa kalau pewartaan mereka ditolak, janganlah mempersalahkan diri, karena bahkan Yesus sendiri banyak ditolak oleh orang. Kalau orang tidak menerima pewartaan mereka, jangan lalu merasa bersalah. Yesus menyuruh para rasul untuk mengebaskan debu dari kaki. Bukan menyuruh mereka untuk melakukan pewartaan ulang dengan strategi-strategi yang baru,” jelasnya.
Ketiga, mengebaskan debu dari kaki adalah simbol “move on”. Orang menolak Kabar Gembira. Kalau hati tertutup, otak pun nicaya tertutup. Bila hati mereka terlah tertutup, percumalah kita mewartakan tentang Tuhan. Lebih baik kita pergi ke kota lain yang berpotensi menerima Kabar Baik dengan lapang hati.
“Kalau kita tidak pergi, move on, dan ngotot agar mereka menerima Kabar Gembira, orang yang Anda coba tobatkan itu akan marah karena mereka merasa Anda memaksa dan karena itu mereka bisa alergi terhadap pewartaan tentang Yesus. Kita harus mengebaskan debu dari kaki kita (simbol move on) dan pergi ke tempat lain karena disana ada orang lain yang membutuhkan Kabar Gembira.
Ke empat, erat kaitan dengan “move on” tadi, pernyataan “kebaskanlah debu dari kakimu” menunjuk pada sikap melepaskan diri dari penolakan dan sikap-sikap negatif lainnya. Sebagai pewarta Kabar Gembira, hati kita harus gembira. Sukacita dan kegembiraanlah yang harus menyertai perjalanan pewartaan Kabar Gembira, bukan beban-beban psikologis seperti merasa tertolak.
Begitulah pemaknaan “kebaskanlah debu dari kakimu” versi RD Mathias Thelen. Tentu ada pemaknaan lainnya yang bisa memperkaya. (Admin/dbs)