KITAKATOLIK.COM—Menandai awal puasanya, umat Katolik selalu menandai dahinya dengan abu pada hari Rabu Abu. Mengikuti tradisi sejak jaman Perjanjian Lama, abu menjadi salah satu simbol pertobatan dan kerendahan hati.
Apa arti dan makna abu sebenarnya? Menurut Dosen Kitab Suci STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta Pastor Josep Susanto, Pr kata abu atau debu, berasal dari akar kata yang sama yaitu apar (=debu) dan iper (abu).
Sebelum ditemukan atom atau partikel, kata Pastor Josep, debu merupakan benda terkecil. Sifatnya tidak ada artinya, mengotori, tak berguna dan tak bermanfaat, namun masih bisa dilihat. Sementara abu mengacu pada sisa-sisa benda-benda yang dibakar. Mengacu pada kemusnahan sesuatu yang ada menjadi tiada, kesia-siaan, dan tidak punya arti lagi.
”Debu dan abu adalah benda yang mempunyai derajat paling rendah di antara benda-benda lainnya,” jelas pastor kelahiran 23 Maret 1977 ini.
BACA JUGA: Dibuka hari Rabu Abu, Puasa Katolik Berakhir pada Sabtu Suci. http://www.kitakatolik.com/dibuka-hari-rabu-abu-puasa-katolik-berakhir-pada-sabtu-suci/
Beberapa nats Kitab Suci menjelaskan debu atau abu sebagai tanda kerendahan dan kehinaan. Abraham, ketika Ia berbicara dengan Tuhan, mengakui dirinya hanyalah debu dan abu (Kej 18:27).
Dalam kitab Samuel dikatakan debu dan abu adalah tempat tinggal orang-orang miskin dan orang lemah. Allah mengangkat mereka dari debu dan abu (1Sam 2:8).
Bagian dari ritual pertobatan
Dalam Kitab Suci, debu dan abu dipakai sebagai bagian dari ritual pertobatan. Dalam Ayub 42:6 dikatakan Ayub bertobat dalam debu dan abu.
Nabi Yehezkiel menyerukan pertobatan kepada Israel dengan menaruh abu di atas kepala dan berguling dalam debu (Yeh 27:30).
Yang paling familiar dengan kita adalah kisah orang Niniwe yang mengekspresikan pertobatan mereka dengan duduk di atas debu. Setelah mendengar nubuat penghukuman yang disampaikan Yunus, Raja Niniwe menyesal dan duduk di atas debu (Yun 3:6).
Menandai dahi dengan abu
Lalu apa arti membubuhi dahi atau kepala dengan abu? Pastor Josep mengemukakan lima makna dari abu atau debu.
Pertama, kita melihat siapa diri kita di hadapan Allah. Tuhanlah Allah, Raja atas diri kita, sementara kita bukanlah apa-apa, tidak berarti, seorang hamba sahaya, tetapi dikasihi olehNya.
Kedua, debu atau abu juga merupakan simbol hancurnya hati dan diri kita setelah kita menyadari betapa dosa telah merusak diri kita. Dosa membuat kita menjadi tidak bisa berpikir jernih, penuh nafsu dan tipu daya, pintar bersandiwara, melakukan kebohongan demi kebohongan. Karena dosa, kita lupa bahwa kita membutuhkan Tuhan dan sesama. Kita menjadi sedemikian sombong, angkuh dan congkak hati.
Ketiga, menjadi debu dan abu artinya kita meninggalkan kedirian kita, dengan segala kesombongan, sifat egois, segala hal-hal yang merusak identitas kita sebagai anak-anak Allah, yang telah ditebus oleh Darah Anak Allah.
Keempat, kesadaran bahwa diri kita adalah debu membantu kita untuk melihat orang lain. Bahwa kita semua berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu, maka tidak perlu ada yang disombongkan lagi. Tidak perlu seorang pun merasa lebih hebat dari orang lain lalu memandang rendah orang lain.
Kelima, lanjut pastor Josep, sebutir debu tidak akan terlihat oleh mata. Debu akan terlihat bila dikumpulkan bersama debu lainnya. Bukankah dunia ini berasal dari kumpulan milyaran debu. Maka diriku yang adalah debu, akan lebih menemukan eksistensi dan maknanya, ketika aku berada bersama yang lain. Aku memerlukan orang lain, dan orang lain pun memerlukan aku. (admin/dbs)