Maka Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka untuk menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit.
Ia mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah dan untuk menyembuhkan orang, kata-Nya kepada mereka: “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju. Dan apabila kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari situ. Dan kalau ada orang yang tidak mau menerima kamu, keluarlah dari kota mereka dan kebaskanlah debunya dari kakimu sebagai peringatan terhadap mereka. ”
Lalu pergilah mereka dan mereka mengelilingi segala desa sambil memberitakan Injil dan menyembuhkan orang sakit di segala tempat. (Lukas 9: 1-6).
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng.
SETIAP kali mengakhiri suatu perayaan Ekaristi dalam Tata Perayaan Ekaristi Lama, kita sekalian selalu diajak: Marilah pergi, kita semua diutus dan dijawab “Amin”! Ajakan ini adalah suatu penugasan yang diberikan kepada kita.
Tugas perutusan Yesus dipercayakan kepada kita semua. Kita (tanpa kecuali) bergerak dalam tugas perutusan: Untuk memberitakan Kerajaan Allah, Kabar Baik dan untuk “menyembuhkan” orang sakit.
Kita tidak perlu membawa apa-apa dalam perjalanan dalam melaksanakan tugas perutusan ini. Yang diperlukan sebagai modal dan kekuatan: keberanian, kesiapan hati dan kesediaan diri untuk diutus oleh Tuhan.
Sebab kita semua sudah diberikan, dikaruniai, diperlengkapi banyak hal oleh Yesus, sebagaimana halnya para Rasul dalam Injil hari ini: “Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka (kita juga) untuk mengusir setan-setan dan untuk menyebuhkan penyakit-penyakit. Dan Ia mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah dan untuk menyebuhkan orang sakit!” (Lukas 9:1-2).
Namun, seringkali kita tidak sadar dan tidak menghayati ajakan Yesus, “Marilah pergi, kita semua diutus” yang terkadang kita jawab “Amin”-nya kurang tegas, bahkan ada beberapa yang tidak menjawabnya karena ada yang pulang misa sesudah komunio, tanpa ikut berkat penutup dan ajakan perutusan itu.
Karena kurangnya kesadaran itu, maka sering kita tidak berbuat apa-apa dalam kehidupan sehari-hari “di lapangan kerja/hidup masing-masing” dari perayaan Misa, atau lebih khusus dari Sabda Tuhan yang didengar pada hari itu.
Mungkin kita menjalankan tugas perutusan Yesus itu tunggu hal-hal besar, dan mengabaikan atau menganggap remeh karya perutusan yang kecil dan tampaknya sederhana, seperti mengunjungi orang sakit, menghibur yang berduka dan berada dalam kesulitan/persoalan hidup, menasihati yang tersesat, memberi solusi atas persoalan hidup orang, membantu meringankan penderitaan orang, dan lain-lain yang semacam itu.
Kita diminta untuk ambil bagian dalam tugas perutusan Yesus dengan mendoakan orang lain dalam doa-doa pribadi/doa-doa kelompok kita dan/atau melakukan karya amal kasih yang kecil-kecil. Itulah praktek nyata dari ajakan “Marilah pergi, kita semua diutus, Amin”.
Semoga dengan bantuan doa Santo Vincentius a Paulo, Allah Tritunggal Mahakudus (+) memberkati kita sekalian. Amin.