Salib-salib dari Tanah Galian

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Tampilannya tak konvensional. Bila ujung-ujung palang salib lainnya biasa berbentuk  potongan lurus persegi empat, salib-salib dari Tanah Galian  tak seragam ujungnya.

Kebanyakan melengkung setengah lingkaran. Yang lain berpuncak  trapesium dengan ujung  lancip,  sementara bagian horisontalnya  berunduk dengan besaran gradual,  makin ke ujung makin besar. Ada juga yang tampak konvensional tapi bagian  vertikalnya kian kecil ke dasarnya.

Bahan dasar yang dipakai pun berbeda. Terbuat dari  kayu kamper dan jati tebal, salib-salib itu berlihat kokoh, tahan banting dan anti rayap, jamur atau perusak kayu lainnya.

“Saya buat begitu biar ada ciri khasnya,” kata  Pius P.A. Da Gomez, pembuat  salib-salib dari Tanah Galian, Jakarta Timur itu. Sebagai seniman, ia memang memberi corak khas nan artistik bagi sarana doa umat Katololik itu. Beberapa dipernis dengan cat kayu eksklusif, yang lain bermotif batik. Sementara posturnya disesuaikan dengan peruntukan, ada salib duduk, ada juga salib gantung.

Karena kekhasannya itu, banyak orang yang tertarik dan ingin memiliki salib-salib dari Tanah Galian tersebut.

Mencari salib

Ide pembuatan salib-salib itu muncul ketika Pian, begitu ia biasa disapa, mencari salib untuk rumahnya. Ia mengunjungi beberapa tempat penjualan sarana doa tersebut,  tapi ia mengaku tak ada yang “kena” di hati. Terutama karena mutu dan harga tidak sebanding.

Pria kelahiran Bajawa, Flores 5 Mei 1969 ini kembali dan memutuskan untuk menciptakannya sendiri. Kebetulan dia memang sudah tertarik dengan dunia pertukangan sejak masih aktif di Apparel, perusahaan berjejaring internasional yang bergerak di bidang promosi brand-brand internasional papan atas. Setiap kali terima gaji, ia selalu membeli alat-alat pertukangan yang memang tak murah harganya.

Bersama istri, Ida Prasetyowati

Karena masih sangat awam, ia pun belajar seluk-beluk kreasi kayu dari berbagai sumber.  Ia menyusuri tempat-tempat pejualan papan yang murah tapi berkualitas. Juga mencari tahu soal  finishing, seperti pengecatan yang bagus.

“Saya belajar dari tukang-tukang dekat Pondok Bambu, Jakarta Timur. Bagaimana cara potong yang baik, amplas dengan gradasinya, mulai dari yang kasar hingga yang halus. Juga cara catnya saya belajar di situ. Kemudian saya praktekkan dan jadi,” cerita pria betubuh subur ini.

Dan karena salib merupakan sarana doa dan dianggap sebagai benda kudus (setelah diberkati tentunya), ia pun berkonsultasi dengan pastor Eduard Ratu Dopo SJ yang kala itu bertugas sebagai Kepala Sekolah SMA Kolese Kanisius, Jakarta.

Romo Edu dan beberapa romo lainnya menerangkan bahwa  bentuk salibnya terserah, yang penting corpus-nya berbentuk orang dengan bekas paku di telapak kiri kanan tangan dan kaki Yesus.

“Saya buat dua salib. Satu saya taruh di kamar tamu, satunya lagi di kamar tidur. Saat melihat salib itu, banyak yang tertarik dan minta dibuatkan salib dengan model serupa,” cerita Pian.

Kreasi suami dari Ida Prasetyowati  ini bertambah.  Selain salib, ada juga ambalan tempat doa, di atasnya bisa diletakkan patung Maria, lilin, salib kecil dan sarana doa lainnya. Juga tempat lilin yang kokoh. Merambah pula ke pembuatan meja dan barang-barang berbahan dasar jati lainnya.

“Pokoknya apa saja permintaan konsumen, akan saya coba kerjakan,” tukas mantan calon pastor ini.

Ngamen dan Antimo

Kecintaannya pada salib, sedikit menggambarkan perjuangan awalnya saat menjejaki kota Jakarta. Tahun 1989, ia ke Jakarta untuk kuliah. Lulus test di tiga Perguruan Tinggi yaitu  YAI, Atmajaya dan Perbanas, Pian berlabuh di Perbanas.

Selama enam bulan pertama, ia tinggal bersama kerabat dekatnya yang membekali dia Rp. 10.000 untuk jangka waktu seminggu. Jumlah yang hanya buat sehari. Menyiasatinya, Pian melakoni banyak jenis pekerjaan informal. Mulai dari ngamen di bus kota hin gga  loper koran.

Suatu hari, saat sedang bernyanyi di bus tingkat jurusan Pulo Gadung-Senin, kerabat dekatnya yang kebetulan menumpang bus tersebut menariknya turun dan mengatakan Pian telah mempermalukannya.

“Saya bilang ini halal. ‘Kan saya hanya diberi Rp. 10 ribu, bagaimana bisa hidup. Saya punya gitar dan  saya punya suara tak kalah dengan pengamen-pengamen lainnya,” tuturnya, saat itu.

Di kampus, ia masuk sebagai anggota Resimen Mahasiswa (Menwa). Tujuan utamanya bukan untuk disiplin dan latihan berorganisasi, tapi supaya dapat makan. Saat itu, anggota Menwa yang piket selalu diberikan makan siang gratis di ruang dosen. Jadilah, hampir tiap hari ia piket.

Ketika kerabat dekatnya tadi bekerja di luar negeri, Pian memilih numpang di rumah sahabatnya, masih dengan kondisi keuangan yang memprihatinkan. Untuk membayar Satuan Kredit Semester (SKS) ia terus menjual suaranya di bus kota.

Saat tak ada uang sama sekali, ia mencari uang logam Rp. 100  untuk membeli antimo dua saset.  Diminum dan langsung ngantuk dan tidur sampai esok harinya. Dengan begitu, ia mengaku tak perlu makan selama dua hari.

Di Sementar IV, ia memutuskan berhenti kuliah, meski saat itu banyak temannya berjanji membantu pembiayaan.

Tahun 1991, ia mulai bekerja sebagai tenaga sales. Lalu bergabung dengan perusahaan kosmetik di bawah pimpinan Poppy Darsono. Pian dipercya sebagai tim promosi.  Beberapa tahun kemudian dia bergabung dengan Trisula, terutama di anak perusahaannya yaitu Apparel.

Selama kurang lebih 19 tahun, Pian bekerja di situ,  khusus menangani  bidang promosi untuk brand-brand  luar ternama. Posisinya terus naik hingga menjadi Asisten Manager sampai akhirnya perusahaan mem-PHK-kan dia pada tahun 2016.

“Karena sejak kecil kita sudah ditanamkan nilai-nilai kejujuran, saya berusaha kerja lurus dan jujur.  Kalau saya mau kaya itu dari dulu. Teman saya banyak yang makan duit dan berurusan dengan polisi,” ujarnya.

Beberapa perusahaan rekanan  sering mengajaknya untuk kongkalingkong, tapi selalu ditolaknya. Saat ditawari komisi pun dia tolak. Dia biasanya meminta perusahaan tersebut menggantikan komisi tersebut dengan bekerja 100 persen untuknya, dalam arti memberikan hasil kerja yang prima.

“Dengan begitu, saat serah terima, semuanya aman. Saya sama sekali tidak terbeban  oleh pemberiannya. Kalau dia sudah kasih duit, kan susah di saya. Meski dia salah, kan susah saya ngomel,” kata Pian.

Kini Pian lebih banyak menghabiskan waktunya di bengkel kayu dengan peralatan pertukangan yang lengkap dan canggih yang terletak di depan rumahnya. (Paul MG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *