KITAKATOLIK.COM—Pengalaman adalah guru yang sangat baik. Adagium klasik ini diyakini pula oleh Yohanes Atanius Ruma SH. Pengalamannya di lapangan hijau selama lebih dari 10 tahun mengajarkan banyak hal bagi pemilik Y.A. Ruma and Partner Law Firm ini.
“Sepak bola itu kombinasi dari banyak hal. Di sana kita berteman, kita berinteraksi, berlatih dan bertanding. Ada banyak nilai yang akhirnya menjadi bagian dari hidup dan membantu banyak dalam karier saya,” kata pria kelahiran Flores, 2 Mei 1966 ini.
Melalui sepak bola, lanjut anak ketiga dari enam bersaudara ini, ia menjadi sangat yakin akan beberapa kebenaran wajar.
“Kita menyadari bahwa tidak ada pertandingan yang berhasil tanpa ada latihan atau persiapan yang baik. Tidak pernah ada kesuksesan kalau kita tidak pernah disiplin. Juga tidak ada kesuksesan kalau kita tidak sportif. Juga kita tidak bisa bicara tentang kemenangan kalau saya bermain sendiri. Harus ada tim,” katanya sambil menjelaskan bahwa dalam sepakbola, tim memiliki banyak komponen antara lain pelatih, ofisial, manajemen dan ada juga masyarakat penonton.
Disiplin, sportivitas, team-work, ketekunan, keuletan dan belajar tanpa henti, menurut Yance – begitu dia biasa disapa – merupakan nilai-nilai positif yang ditimbahnya di lapangan sepak bola dan kini sangat menunjang kariernya.
Memberi solusi
Keterampilannya dalam menggiring bola sudah mulai terlihat saat duduk di SMA Seminari Mataloko, Ngada, Flores. Kebetulan di sekolah calon pastor itu, tersedia sarana olahraga yang sangat memadai. Tahun 1984, saat melanjutkan sekolah di Ende, ia terpilih memperkuat Perse Ende (Persatuan Sepakbola Ende).

Dua tahun kemudian, suami dari Maria Magdalena Erni Pujiastuti ini melanjutkan studi ke Yogyakarta dan belajar di Fakultas Hukum UGM. Sambil belajar, ia masuk klub sepak bola amatir Tunas Muda Harapan. Dari tahun 1986 sampai 1990 ia memperkuat klub PSIM (Persatuan Sepak Bola Indonesia Mataram), klubnya Yogya. “Dulu polanya doble wings, jadi saya ditempatkan di wing kiri. Sekarang, polanya menjadi doble sticker dan saya jadi play maker,” jelas Yance.
Tahun 1990, ia mendapatkan tawaran masuk Galatama, dan bermain untuk Perkesa Mataram selama tiga musim. Ia lalu memperkuat beberapa klub, antara lain PSIR.
Lepas dari lapangan hijau, ayah dua putra dan dua putri ini merintis karier di dunia perbankan. Ia mengikuti pendidikan eksekutif di Bank Niaga selama setahun lalu bergabung di Bank Putera Multi Karsa, Jakarta. “Saya ditempatkan di bagian legal dan kemudian di bagian kredit,” katanya.
Menjelang likuidasi, Yance mengaku “kebanjiran” tugas mengurusi pesangon dan masalah hukum lainnya. Itulah yang mendorongnya untuk mengurus lisensi sebagai lawyer dengan mengikuti sertifikasi pengacara pada tahun 1999.
Mengantongi ijin pada 2000, Yance lalu bergabung di kantor pengacara Yan Apul SH. “Saya banyak sekali belajar dari beliau,” katanya. Tiga tahun kemudian, ia mendirikan kantor pengacara sendiri.
Menjadi pengacara, bagi Yance, merupakan pilihan yang didorong oleh beberapa faktor.
“Waktu saya kecil, ada pocrol (lawyer tak berijazah yang bisa praktek di pengadilan) yang merampas tanah ayah saya. Padahal itu tanah milik sah ayah saya. Dia pakai cara macam-macam, sampai pengerahan massa untuk merampas tanah itu. Ya akhirnya tanah itu harus diserahkan ke pihak lain. Itu yang mendorong saya untuk menjadi pengacara,” ujarnya.
Alasan kedua, karena ia suka berteman dan memiliki keinginan yang besar untuk selalu menolong orang.
“Sejak remaja saya memang sangat senang bila menjadi bagian dari pemecahan masalah orang lain. Saya senang sekali apabila teman atau orang lain keluar dari masalahnya,” kata Yance sambil menegaskan bahwa tugas utama seorang pengacara adalah memberikan solusi bagi klien.
Utamakan pelayanan
Ia menghayati tugas kepengacaraannya sebagai pelayanan. “Modal utama saya adalah keterampilan dan komitmen untuk melayani klien,” katanya. Karena pelayanan maka bukan hanya penguasaan dalil-dalil hukum yang diandalkan, tapi kejujuran dan integritas moral.
“Hati kita harus ada di situ,” katanya. Ia menjelaskan bahwa perkara yang dikonsultasikan padanya tak hanya bisa didekati dan deselesaikan secara hukum saja. Banyak perkara yang dia selesaikan bukan dengan penyelesaian hukum.
Karena itu, Yance mengakui bila kebanggaannya sebagai pengacara tidak tergantung pada berapa bayaran yang dia terima, tapi pada berapa banyak orang yang bisa keluar dari persoalannya.
“Saya merasa satu orang pun yang saya tolong, sudah sangat memperkaya diri saya,” kata putra seorang pendidik ini.
Karena ukuran kesuksesannya adalah mampu membantu orang keluar dari masalahnya, maka Yance mengaku tidak pernah proaktif mencari kasus. Ia mengaku tidak akan pernah melakukan marketing sistematis. Apalagi hal itu berlawanan dengan kode etik profesi.
“Apa pun yang saya lakukan, itu adalah ‘marketing’ saya. Saya tidak perlu propaganda dan promosi untuk mendapatkan klien,” ungkapnya.
Ora et labora (bekerjalah dan berdoalah) merupakan nasihat bijak yang selalu dipatuhinya.
“Simpul dari orientasi kehidupan manusia itu adalah berdoa dan bekerja. Berdoa untuk dimensi vertikal, sementara bekerja untuk urusan horizontal,” jelas pria yang tidak ingin menjadi kaya tapi sejahtera ini. (pamago).