KITAKATOLIK.COM—Sebuah kalimat berdaya besaar sekaligus mengekspresikan kerendahan hati dan kepasrahan pada kehendak-Nya, selalu tertulis di laman WhatsUpp-nya.
“Hanya dalam Nama-Mu, aku hidup!” – bunyi kalimat itu – bukan hanya sekedar penghias, atau sederet kata motivasional, tapi sungguh dialami pria kelahiran Ende, 4 Maret 1964, ini sebagai sebuah kekuatan spiritual yang sangat besar. Juga mengekspresikan seluruh dinamika hidupnya.
“Terutama dalam masa-masa pergumulan dan saat masih sendiri, saat saya susah, selalu saja ada utusan-Nya yang datang ketika saya menyerukan nama-Nya dalam doa,” kata Yosef yang kini anggota Komisi III, DPR-RI dari Partai Demokrat.
Selain menggantungkan diri pada penyelenggaraan Ilahi, setiap langkah hidup suami dari Maria Natalia Cicih Badeoda, ini didasari oleh prinsip kerja keras.
Yang terbaik
Sejak mengenal bangku sekolah, putra dari Bapak Petrus Nggai Badeoda dan ibu Eduarda Tani Ndori Wangge – seorang anggota ABRI dan perawat – ini selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya.
Sejak SD, ia selalu mendapat rangking satu. Makanya, setamat SDK Ende II, orangtua mengirimkannya ke Seminari Menengah Toda Belu, Mataloko. “Romo Yoseph Lalu, pastor Paroki saat itu, menginstruksikan supaya setiap siswa yang rangking 1-3 dikirim ke seminari. Karena saya juara 1, ya saya dikirim ke Mataloko,” cerita Tote, begitu ia biasa disapa teman-temannya.
Di Seminari, tekad untuk menjadi “yang terbaik” tak luntur, bahkan kian kuat. Apalagi, ditunjang iklim kompetisi yang fair dan lembut. Pesaing utama teman seangkatannya adalah Uskup Ewaldus Sedu, Gaby Nusa dan almarhum Roni Gara. Nah untuk memenangkan kompetisi sehat, Yosef sangat giat belajar. Banyak buku dilahapnya, mulai dari buku pelajaran, cerita kepahlawanan, kisah cinta dan juga kamus.
“Pernah saya diusir Pak Thobias Djadji gara-gara baca buku waktu pelajaran bahasa Inggris. Saat tidur malam pun saya sering baca buku pake senter,” cerita pria yang saat SD sangat gemar menonton film silat dan kung fu ini.
Karena ketekunannya, ia selalu keluar sebagai juara. Bahasa Latin, sebuah bahasa “mati” yang bagi sebagian temannya merupakan mata pelajaran yang sulit, sangat digemarinya dan mendapat nilai 10. Hampir semua cabang olahraga juga dikuasainya dan masuk sebagai tim inti. “Hanya musik yang susah bagi saya. Saya hanya sebagai penikmat saja,” katanya.
Setelah tamat SMA Syuradikara tahun 1983, ia merantau ke Jakarta. Tahun ’84, ikut test di Universitas Indonesia. Sayang, gagal. Sebenarnya ada beberapa Universitas lain yang bisa dia masuki karena sudah lolos test, tapi ia bersikukuh harus kuliah di UI, universitas yang paling bergengsi karena mutunya. Tahun 1985, ia harus ikut lagi.
Mengisi waktu, ia bekerja serabutan, terutama sebagai penjaga malam di bengkel Buana Putera yang saat itu terletak di depan Taman Makam Pahlawan. Menggunakan lilin sebagai penerang, ia melewati malam dengan belajar. “Saya harus lulus di kesempatan kedua. Saya beli buku dan pelajari semua soal-soal sipenmaru pake uang gaji saya.”
Perjuangannya tidak sia-sia. Saat ujian, ia lulus dan menjadi satu-satunya pendatang dari NTT yang masuk UI di tahun 1985 itu. Selalu duduk di bangku belakang, Yosef yang saat itu bertubuh kurus dan berambut sedikit gondrong, mengaku tak punya banyak teman. Hanya ada satu temannya yaitu Toto, yang kebetulan sesama anggota FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI POLRI).
Totolah yang banyak membantunya di saat-saat awal perkuliahan di UI. “Dia beli buku lalu saya foto copy dari dia. Seringkali dia yang mengkopi untuk saya karena saya saat itu tak punya banyak uang.”
Meski dalam keterbatasan, Yosef selalu unggul dalam prestasi akademis. Karena hasil ujian selalu ditempelkan di papan publikanda, di tempat yang gampang dilihat orang, banyak teman yang mulai bertanya-tanya, siapakah Yosef yang banyak mendapatkan nilai A itu. Di Semester pertama, ia menjadi salah satu mahasiswa terbaik dan mengalahkan banyak teman yang berasal dari keluarga kaya dan pandai bicara. Karena prestasinya itu, ia kemudian mendapat banyak teman.
Sayang, memasuki Semester kedua, ia terserang penyakit. Ada gangguan di tenggorokan dan merambah pula ke paru-paru. Mungkin karena kebiasaan bergadang di lahan terbuka saat menjaga bengkel mobil. Setelah beristirahat selama semester, ia masuk kembali dan mengejar keterlambatannya. Tahun 1990, ia lulus S1 Praktisi Hukum yang menggabungkan Hukum Perdata dan Pidana sekaligus.
Keluar dari keterbatasan
Ia lalu bergabung di bagian HRD BDNI dan berkarier di sana selama 7 tahun. Setelah BDNI dilikuidasi tahun 1999, ia memutuskan mengambil S2 dalam Hukum Bisnis di Universitas Indonesia. Saat itulah dia bertemu dan belajar bersama Amir Syamsudin, seorang pengacara senior yang banyak menangani perkara-perkara bergengsi. Yosef kemudian bergabung dalam Law Office Amir Syamsudin and Partner.
Karena kecerdasannya, ia dipercayakan menangani kasus-kasus besar yang terkait dengan kepemerintahan. Seiring dengan itu, ia pun mendapatkan penghasilkan yang besar. Dalam waktu tiga bulan, ia sudah keluar dari keterbatasannya.
Salah satu perkara yang turut ditanganinya adalah perkara Akbar Tanjung. Beberapa lawyer terlibat, tapi dialah salah satu konseptornya. Perkara ini kemudian dibukukannya. Selain Akbar, ada juga kasus Indosat yang menyita perhatian publik.
Untuk mengasah kemampuannya, ia mengaku terus belajar, juga membaca kasus-kasus dan pembelaannya. Setelah membaca kasus, ia mengumpulkan referensi dan memberikan jawaban dan solusi hukumnya. Tiga tahun berlalu, ia sudah hidup tenang dan senang, memiliki rumah dan beberapa kapling tanah.
Tahun 2005, ia masuk Partai Demokrat bersama Amir Syamsudin dan duduk di departemen hukum partai besutan Susilo Bambang Yudoyono tersebut. Kini dia menjabat Sekretaris Dewan Kehormatan dan Mahkamah Partai.
Tahun 2009 ia maju sebagai calon DPR RI dari Partai Demokrat untuk Dapil NTT I yang meliputi Alor, Flores dan Lembata. Tahun 2014, ia maju lagi. Kali ini suara yang terkumpul belum mencapai jumlah yang dituntut untuk bisa masuk Senayan. Tapi cita-citanya untuk menjadi wakil rakyat di DPR-RI tak pernah surut. Tanggal 14 Pebruari 2018, ia resmi menggantikan posisi Benny K Harman melalui mekanisme PAW dalam rapat paripurna mewakili NTT I.
Sebagai wakil Rakyat, ia bertekad untuk mewujudkan harapan-harapan masyarakat, terutama di daerah pemilihannya. Karena itu, di saat reses, dia selalu berusaha untuk turun ke daerah pemilihannya. Bukan hanya sekedar menangkap aspirasi, tapi juga memberikan jawaban konkrit atas aspirasi masyarakat tersebut.
“Dana aspirasi itu tidak sedikit. Dan harus digunakan demi kesejahteraan masyarakat setempat. Saya mulai dengan keterbukaan tentang jumlah dana yang saya bawa untuk meningkatkan kesejahteraan mereka,” katanya.
Dalam kaitan dengan fungsi legislasi dan hak budgeter, Yosef yang duduk di Komisi III mengaku sangat didukung oleh pendidikan dan pengalaman berkariernya di bidang hukum. Juga karena selama ini duduk di bagian hukum Partai Demokrat.
Selain di DPR, sebenarnya Yosef telah mengabdikan diri selama beberapa tahun ini sebagai Ketua paguyuban berbasis kedaerahan, Wuamesu Indonesia.
Dari Ende Lio untuk Indonesia
Sejak berbadan hukum melalui SK Menteri Hukum dan HAK pada tahun 2015, Yosef dipercaya oleh para ketua kelompok sebagai Ketua Umum Wuamesu Indonesia. Banyak kegiatan digelar selama masa kepemimpinannya. Pada akhir dan awal Juli lalu misalnya, digelar WI (Wuamesu Indonesia) Cup II yang dimenangkan oleh kesebelasan Kabupaten Ngada. Turnamen Wuamesu Cup sendiri bertujuan untuk mencari bakat pemain sepak bola dan menjalin silahturahmi dan kebersamaan masyarakat NTT yang ada di Jabodetabek.
Dibuka pada 30 Juni 2018, WI II ini digelar bersamaan dengan HUT ke-3 organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat terbuka ini. “Wuamesu Indonesia ini memang didirikan oleh orang Ende-Lio tapi terbuka untuk semua orang Indonesia,” katanya.
Selain turnamen sepak bola, di tahun 2016, pihaknya menggelar Tour The Flores yang memobilisasi para professional Jakarta untuk berkunjung ke Flores. Sekitar 100 orang dengan beragam profesi seperti dosen, notaris dan pengusaha melakukan perjalanan wisata dari Kelimutu ke Labuan Bajo.
Sesuai AD/ART-nya, Wuamesu Indonesia memiliki tigas program sosial yaitu Kredit Usaha Kecil untuk membantu perekonomian para anggota, Bea Siswa dan Santunan Sosial, seperti untuk kematian dan pengobatan. Selain iuran anggota, Yosef mengaku mendapatkan banyak donasi dari pengusaha yang memiliki hati untuk kesejahteraan orang lain.
Melalui Wuamesu Indonesia, Yosef menempatkan dirinya sebagai seorang berjiwa sosial, yang tidak menyimpan kemampuan hanya untuk diri dan keluarga sendiri, tapi bagi dan demi kesejahteraan semakin banyak orang.
“Manusia NTT harus hidup dalam paradigma baru kewiraswastaan. Kecenderungan untuk hanya menjadi PNS harus perlahan dipangkas,” katanya. (Admin)