Dr. Stefanus Roy Rening SH.MH: Saat Kita Menyerahkan Diri pada Yesus dan Bunda Maria, Tuhan Pasti Buka Jalan

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Siang hari, 29 Desember 1993, Stefanus Roy Rening turun dari angkutan kota, persis di depan Gereja Katedral, Jakarta. Langkahnya berat. Masuk gereja, ia langsung menuju ke patung pieta yang terletak di pojok belakang sisi kanan gereja tua yang secara resmi digunakan pada 1901 itu.

Di depan patung Maria dengan wajah malaikat menggendong Putranya yang telah tak bernyawa itu,  Roy berdoa. Sambil menangis, pria kelahiran Makasar, 27 Pebruari 1967 ini mencurahkan seluruh isi hatinya ke hadapan Bunda. Termasuk janjinya pada Sang Ayah untuk “membayar” uang vespa yang dia jual sebagai modalnya merantau ke Jakarta.

“Saya menangis ingat Bapak yang sudah pensiun. Biasanya saat Natal dan Tahun Baru, kita pakai baju baru dan merayakan pergantian tahun di rumah.  Tapi saya tidak bisa kirim apa-apa karena tidak ada uang,” cerita Roy yang saat itu masih magang sebagai pengacara di kantor pengacara Paskalis Pieter and Assosiates.

Doanya sangat khusyuk saat itu. Ia minta dibukakan jalan.  Tanggal 4 Januari 1994,  mukjizat terjadi. Mereka mendapatkan perkara besar. Seorang direktur BUMN dituduh melakukan korupsi.  Yakin bahwa tuduhan itu direkayasa oleh lawan politiknya, Paskalis dan Roy melakukan upaya pembelaan.

“Kebetulan skripsi saya tentang pembuktian tindak korupsi, jadi  saya cukup kuasai masalah itu,” kata mantan Ketua PMKRI Cabang Makasar itu. Proses perkara itu berlangsung sangat lama. Mereka juga berhasil mengamankan banyak asset.

Perkara itu, aku suami dari Margreta Sutuju, ini bisa menghidupkan dia selama  enam tahun. Dari sana ia bisa “membayar” vespa ayah, menikah, membiayai kehidupan keluarga mudanya dan banyak kebutuhan lainnya.

“Itulah yang membongkar seluruh hidup saya. Ketika kita menyerahkan diri secara total kepada Yesus dan Bunda Maria, Tuhan pasti buka jalan,” tegas ayah dari Fernando Antonio Rening, Angelica Agnesia Rening, Augusto Advocatio Justino Rening dan Alvarezio Stevanio Rening ini.  Tapi, tambah dia, Tuhan akan kabulkan bila yang kita minta itu baik menurut Dia. Kalau untuk kejahatan, pasti tak dikabulkan.

Anak adalah “harta”

 Advokat yang sudah mengabdi selama 29 tahun dan sangat matang dalam kiprah kepengacaraannya ini sangat memprioritaskan pendidikan anak-anaknya. Baginya, anak adalah harta.  Anak adalah segala-galanya.  Merekalah yang melanjutkan generasi, baik secara keluarga, bangsa maupun gereja.  Karena itu ia sangat serius mempersiapkan mereka untuk hidup lebih baik dengan tujuan untuk melayani.

“Kita mau anak-anak kita belajar di sekolah yang terbaik. Dengan itu dia bisa memberikan pelayanan yang terbaik pula,” katanya. Roy menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga  pendidikan yang bagus. Fernando dan Angelica telah tamat dari Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha, Bandung. Augusto sedang belajar di Fakultas Hukum pada univeritas yang sama, sementara putra bungsunya kini duduk di kelas XII Penabur.

“Bapak tidak kasih harta dalam bentuk material, tapi dalam bentuk sekolah. Bapak membiayai pendidikan kalian  supaya kalian punya kompetensi. Rezeki nanti kamu cari sendiri dengan melayani sebaik mungkin. Dengan begitu, masyarakat percaya dan nanti berkat juga akan ditambahkan,” nasihat Roy pada anak-anaknya.

Terkait pilihan sekolah anak, Roy mengaku terinspirasi oleh pelayanan Yesus.  Selain, tentu saja, sesuai dengan bakat anak. Tuhan Yesus, kata dia, memiliki tiga tugas yang dijalankan  selama masa hidupNya. Yaitu mengajar, menyembuhkan  orang  sakit melalui mukjizat yang dalam konteks sekarang melalui keahlian medis dan  memberikan makanan kepada banyak orang melalui penyediaan lapangan kerja.

“Jadi saya dorong mereka bekerja di bidang-bidang ini. Yang dokter saya bilang kamu ke sana bukan untuk kaya. Dengan ilmu pengetahuan yang kamu dapat, kamu dapat menyembuhkan orang dari sakitnya. Mudah-mudahan berkat datang bagi banyak orang,” katanya sembari menambahkan, cukup satu orang yang mewarisi keahliannya di bidang penegakkan hukum dan HAM.

Soal biaya hidup dan keluarga, Roy mengaku semuanya karena berkat Tuhan. Ia percaya, kalau kita sungguh-sungguh mau menyerahkan anak-anak  kepada Tuhan, untuk melayani sesama, Tuhan pasti kasih jalan.

“Tuhan, saya serahkan semua anakku. Pakailah mereka semuanya untuk menjadi berkat bagi orang lain,” doanya saban hari. Karena penyerahan bagi pelayaan itulah, aku Roy, Tuhan terus buka jalan.

Memang, sebagai pengacara professional yang  telah teruji dalam dunia pekerjaannya, Roy punya modal untuk mendapatkan kepercayaan klien karena pelayanannya yang maksimal. Tapi Roy mengaku bila pekerjaan itu  datangnya dari Tuhan.

“Pekerjaan itu tidak tiba-tiba datang. Pengacara yang mumpuni ‘kan banyak. Kita semua bertarung. Tapi saya punya keyakinan iman bahwa Tuhan pasti menyertai dan mencukupkan kebutuhan saya. Dialah yang memberikan saya pekerjaan. Tugas saya adalah memperbaiki kinerja professional saya sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat,” jelasnya.

Roy juga mengaku bila rezeki datang  karena tujuannya jelas.  Bukan untuk membeli harta, tanah, mobil dan kemewahan, tapi untuk anak-anak, terutama pendidikan mereka.

Pembela HAM

Selain perkara-perkara korporasi, Doktor dalam ilmu hukum pidana ini banyak terlibat dalam perkara-perkara terkait HAM  (Hak Asasi Manusia). Yang paling menyita perhatian publik, bahkan publik internasional, adalah eksekusi mati Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marianus Riwu.

Ketiganya dijerat tuduhan pembunuhan, penganiayaan dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni desa Sintuwu Lemba, Kayamaya dan Maengko Baru. Pada April 2000, PN Palu memvonis hukuman mati kepada ketiganya. Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara menguatkan putusan itu pada Mei 2001.

Mulai dipercaya sebagai Ketua Tim Pengacara Tibo Cs pada 2006, mereka akhirnya menemukan bukti baru yang mengonfirmasi bahwa kliennya tak terlibat dalam kasus pembunuhan yang berlatar konflik politik lokal dengan pemanfaatan sentimen agama tersebut.

“Ada 12 saksi yang terdiri dari para guru, suster dan anak-anak murid yang bersaksi bahwa pada saat pembunuhan itu, Tibo Cs ada bersama mereka. Om Tibo Cs datang untuk mengevakuasi mereka. Sayangnya PK itu tak diterima karena sudah ada PK pertama yang diajukan oleh penasihat hukum sebelumnya,” kata Roy.

Kapolda Sulawesi Tengah saat itu Brigjen Pol Oegroseno yang sangat yakin bahwa Tibo Cs tak bersalah, terus mendorong Roy Cs untuk membebaskan mereka. Ia juga mendorong Roy untuk mengupayakan grasi. Meski mendapat tekanan, ia tak mau mengeksekusi para perantau asal NTT  tersebut.

Akhir Agustus 2006, Oegroseno dimutasi menjadi Kepala Pusat Informasi dan Pengolahan Data Divisi Telematika Mabes Polri. Mutasi itu ditengarai sebagai buntut penolakannya untuk melakukan eksekusi mati terhadap Tibos Cs. Pada Jumad (22/9/2006), ketiganya dieksekusi tanpa pendampingan pastor dan pengacara karena mereka yakin bahwa ketiganya tak bersalah.

Semua upaya telah dilakukan, bahkan Paus Benediktus XVI pun meminta kepada Presiden saat itu Susilo Bambang Yudoyono agar  hukuman mati atas ketiga terpidana itu ditinjau kembali, tapi tak berdampak.

“Mereka bertiga menjadi ‘martir’ bagi gereja dan Indonesia,” kata Roy mengungkapkan suara Tuhan dalam doa sunyinya pada malam eksekusi mati. Tapi seluruh drama, intrik dan perjuangan membela Tibo Cs memberikan semangat dalam menjalankan tugas pembelaan kemanusiaan selanjutnya.

Dengan latar kasus itu, pada 5 Juli 2019, Roy meraih gelar Doktor dalam bidang hukum. Ia berhasil mempertahankan disertasinya “Politik Hukum Pidana Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana dan Perlindungan HAM bagi Terpidana di Indonesia” di hadapan 9 Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung dengan predikat “Sangat Memuaskan”.

Dalam disertasinya itu, ia menandaskan bahwa PK (Peninjauan Kembali) tidak bisa dibatasi hanya dua kali, tetapi bisa dilakukan berkali-kali selama Novum (bukti baru) tersedia. “PK dengan novum membantu pengadilan kita untuk menciptakan keadilan. Belanda yang merupakan rujukan hukum Indonesia sudah biasa melakukan hal ini,” kata Roy yang melakukan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda ini. (Paul MG)

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *