In Memoriam Yosep Benediktus Wio: “Aku Berjanji Setia Sampai Akhir!”

BOGOR,KITAKATOLIK.COM—“Aku berjanji setia sampai akhir!” Penggal terakhir lagu “Ya Tuhan siapa diriku” terdengar syahdu. Beberapa anggota koor Santo Andreas, Sukaraja, Bogor  yang melantunkan lagu ciptaan Yosep Benediktus Wio tersebut tampak menyeka air mata mereka.

Di hadapan mereka, dalam peti yang terbuka, terbujur kaku jasad sang pencipta lagu tersebut. Wajahnya terlihat tersenyum. Lebih dari 600 umat turut mengikuti prosesi pelepasan jenazah pria kelahiran Ruto, Ngada, Flores, NTT pada 27 Maret 1944 tersebut.

Lagu “Ya Tuhan, Siapa Diriku?” yang ditulis dengan tulisan tangan pada 4 November 2022 tersebut merupakan salah satu lagu ciptaan almarhum yang dinyanyikan dalam Perayaan Ekaristi  dalam rangka Misa Reguem, tutup peti dan  pelepasan yang digelar Rabu (16/11/2022) tersebut. Selain itu ada lagu “Kota yang Abadi”  yang dia tulis pada tanggal 30 Juli 2020 dan  “Yesus Gembala Utama” yang ditulis pada 2 Agustus 2022.

Memang, sejak dulu, Yosep telah melahirkan dan melakukan arransement lagu-lagu  gerejawi.  Juga melatih paduan suara. Dan setelah pensiun, ia  lebih banyak mengisi waktunya untuk melayani di gereja, terutama sebagai pelatih dan dirigen koor gerejawi. Ada puluhan lagu dengan empat suara diciptakannya. Selain ketiga  lagu di atas, ada juga “Yesus Tuhan dan Allah”  (ditulis 5 Juli 2020),  “Yesus Gembala Utama” (ditulis 2 Agustus 2022), dan “Santo Petrus” yang partitur dalam tulisan tangannya tergelatak di atas meja  dekat  kamar tidurnya.

Setia sampai akhir

Selain menyiratkan harapannya, ungkapan “Aku berjanji setia sampai akhir!” (yang merupakan coda lagu “Ya Tuhan, Siapa diriku”) sebenarnya menggambarkan  konsistensi pelayanannya, terutama dalam paduan suara. Setelah pensiun, ia setia melatih, memimpin dan menulis beberapa lagu untuk koor.

Beberapa kelompok paduan suara “diasuhnya”, baik sebagai pelatih maupun dirigen. Ia melatih dan memimpin koor Paroki Santo Andreas. Saat   masih berstatus stasi, kelompok paduan suara tersebut bernama Nafiri.

Tak hanya untuk kelompok dewasa, Yosep juga melatih dan membina kelompok paduan suara Bina Iman Anak (BIA),  Bina Iman Remaja (BIR) dan Orang Muda Katolik (OMK).

“Koor paroki biasanya bertugas mengisi momen hari-hari besar gereja seperti HUT Paroki, Natal, Paskah, pembukaan dan penutupan bulan Rosario. Kalau paduan suara BIA dan BIR biasanya bertugas pada Paskah anak-anak dan Natal fajar,” jelas Theta, salah seorang dirigen koor paroki Andreas yang juga merupakan anak binaan Yosep.

Menurut Theta, dalam berlatih, Yosep selalu disiplin dan menularkan mentalitas positif ini kepada rekan dan anak-anak binaannya itu. Dengan menggunakan payung sebagai tongkat, ia selalu hadir setengah jam sebelum latihan.

“Semoga kami anak-anaknya  bisa mewarisi semangatnya, terutama kekuatan dan semangatnya untuk  melayani Tuhan. Mungkin beliau ngomel dan marah-marah,  tapi kami sudah menganggapnya wajar sebagai upaya untuk membangun. Beliau luar biasa,  pantang menyerah, walaupun anggotanya kurang atau belum menguasai not, beliau ajarkan dengan sukacita,” ujar Theta.

Yosep B. Wio (tengah) saat melatih paduan suara

Sementara menurut  pastor Paroki Santo Andreas RD. Robertus Eeng Gunawan, Yosep sangat setia dalam melayani, terutama dalam membina paduan suara.

“Ia mengentahui talenta atau kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya  dan itu ia kembalikan melalui pelayanannya. Dianugerahi suara yang barus, kemampuan memimpin dan musikalitas yang tinggi, Om Yosep telah memberikan dirinya untuk Tuhan melalui pelayanan paduan suara,” kata Romo Eeng.

Selain koor di parokinya, Yosep juga memimpin kelompok koor di Katedral Bogor yaitu Paduan Suara Solator Cordis, Cimanggu (Paroki Katedral BMV).

Kesetiaannya pada pelayanan paduan suara yang merupakan ekspresi imannya itu terus bertahan hingga saat-saat menjelang kematiannya. Sebelas hari sebelum meninggal, tepatnya tanggal 4 November 2022, ia menulis lagu terakhirnya berjudul  “Ya Tuhan, Siapa Diriku” itu.

Setia dan jujur

Anak ke delapan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Guru Yohanes Wuda dan Nyora Guru Ana Geme ini merantau ke Jakarta sejak tamat Sekolah Teknik (ST), setingkat sekolah menengah, di Ndona, Ende, Flores.

Sambil bekerja serabutan, ia melanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM) dan kemudian kembali mengajar di sebuah STM di bilangan Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Ia kemudian bekerja sebagai teknisi mesin di beberapa perusahaan, antara lain PT Pulung Cooper,   PT. Arga Karya Prima Industry  dan pernah pula bekerja di  Pedalaman Kalimantan Timur.

Menikah dengan Paulina Datu Pongbulaan pada tanggal 05 April 1973 di Jakarta, Yosep dianugerahi dua orang putra dan dua orang putri, yaitu  Kristiani Bue,  Almarhumah Maria Rosa Daria Ka’e Roja, Yoris Pongbulaan dan Titus Ranteallo.

Baik di dalam keluarga, lingkungan kerja maupun pelayanan, Yosep selalu mengedepankan nilai kesetiaan,  kejujuran, tegas, kerja keras, rela berkorban, total, persisten,  dan senantiasa menampakkan sukacita dan humoris.

Baik di lingkungan termpat tinggal maupun di tempat kerjanya, Yosep selalu siap berbagi keahliannya, terutama dalam bidang listrik dan mesin.  Ia selalu siap menolong tetangga yang membutuhkan pelayanan di bidang keahliannya tersebut. .

Ke Kota Abadi

Selasa siang (8/11/2022),  sekitar pukul 12.00 WIB, Yosep merasa kaki dan tangan kirinya kebas (kesemutan) dan sulit menelan. Ia lalu berobat ke Puskesmas yang dekat dengan rumahnya. Tapi di sana dia terjatuh dan  mengalami stroke ringan.

Di tengah sebagian anggota koor

Pria yang selalu tampak sehat dan nyaris tak pernah sakit ini lalu dibawa ke rumah sakit. Naas, rumah sakit yang dikunjunginya penuh. Baru pada malam hari, ia diterima di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong, Jawa Barat.

Meski  telah ditangani dengan maksimal  yang  melibatkan doker syaraf, dokter penyakit dalam, dokter paru, dokter jantung  dan fisioterapist,  pada hari Jumat (11/11) kesehatannya menurun drastis dan harus masuk ICU. Menurut keterangan para medis, kerusakan di otaknya telah menyebabkan pula kerusakan di bagian-bagian vital tubuhnya, terutama di paru-paru, jantung dan ginjal.

Sempat menampakkan tanda-tanda perbaikan ke arah positif, pada Selasa (15/11) petang, ia drop lagi hingga meninggal pada pukul 20.00 setelah sekelompok umat mendaraskan lima peristiwa untaian Rosario. Ia telah berangkat ke Kota Abadi, sesuai dengan kerinduannya yang dituangkan dalam lagu “Kota yang Abadi”.

“Kita semua akan masuk dalam Kota Abadi. Sekarang kita memang menjadi warga kota Tangerang, Bekasi,  Jakarta atau Bogor. Kita tidak mau hanya berhenti di tempat kita tinggal dan berada sekarang. Tapi kita menuju ke Kota Abadi, tempat kita bertemu dengan Tuhan pencipta yang sungguh mencintai kita,”  kata Suster Kristiani Bue,  H. Carm., putri pertamanya, saat memberikan sambutan  pada misa hari ketujuh kepergiannya.

Kematian, kata suster Ani,  tentu menjadi peristiwa penuh rahmat karena kita bertemu dengan Tuhan yang kita cintai.  (Paul MG).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *