“Mukjizat” di Jemari Emanuel Dapa Loka

JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Setelah 26 tahun berharap dalam diam, Frederika akhirnya punya kursi roda sendiri. Wanita asal Kampung Lara Kodi, desa Marokota, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya (SBD), NTT ini sudah 26 tahun menderita Ceberal Palsy yang membuatnya hanya bisa terbaring di tempat tidur karena seluruh badannya lemas.

Ia tak bisa beraktivitas sendiri. Makan, minum dan seluruh kegiatan  manusiawi  lainnya dilayani oleh ibu dan adiknya. Asupan makanannya pun sangat jauh dari memadai.

Di tengah generasi penerus SBD

“Tolong kami. Tolong anak saya, kalau boleh bisa punya kursi roda dan makanan bergizi sedikit,” kata Yoventa, ibunda Frederika pada Emanuel Dapa Loka yang kemudian mengangkatnya dalam tulisan Sejak Lahir Badan Frederika Lunglai, Ingin Berjemur di Atas Kursi Roda di tempusdei.id.

Tulisan tersebut menggerakkan hati banyak orang. Beberapa di antaranya lalu mengontak Eman dan menyatakan kesediaannya untuk menjadi donatur. Baik berupa kursi roda, maupun dana untuk perbaikan gizi.  Kini kursi roda untuk Frederika siap dikirim ke SBD. Dan sebentar lagi ia bisa melihat taman indah di sekitar rumahnya yang sederhana dari atas kursi roda.

Sampai ke hati

Emanuel Dapa Loka sudah menjalani lebih dari 30 tahun usianya sebagai wartawan, penulis buku, pencipta dan pembaca sanjak. Selain di media di mana dia bergabung, karya-karya jurnalistiknya yang bernas, tajam dan kritis, tersebar di beberapa media nasional seperti harian umum Kompas, The Jakarta Post dan masih banyak lagi.

Kembali karena cinta.

Selain memenuhi kaidah jurnalistik secara ketat, tulisan-tulisan Eman biasanya berisi pesan moral yang kuat dan “tembus sampai ke hati” karena bahasanya yang sederhana,  puitis dan karena itu menggugah rasa. Pembaca tak hanya diajak untuk memahami peristiwa, tapi terlibat dan lebih lagi tergerak untuk melakukan sesuatu demi perbaikan hidup sesamanya.

Frederika bukan orang pertama yang mendapatkan bantuan setelah pembaca membaca laporan Ketua Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (2013-2019) ini. Jauh sebelumnya, ada Om Simon Butaama yang juga mendapatkan “berkat” dan mengalami “mukjizat” dari tulisan Eman.

Melalui tulisannya, Eman “berhasil” menggugah pembaca untuk turut membantu pria tua yang sehariannya berkeliling menjual abu gosok di Bekasi untuk merampungkan rumah “temboknya” setelah lama tak dilanjutkan karena kendala biaya.

“Di jemari Eman ada mukjizat,” kata seorang teman jurnalis yang kenal dekat dengan jurnalis kelahiran Pero, Waijewa Barat, Sumba Barat Daya ini. Banyak orang terbantu dan hidup mereka berubah karena sentuhan jemarinya di keyboard laptop maupun handphone-nya. Tulisan-tulisannya selalu mengajak orang untuk terlibat menolong sesama, terutama yang kurang beruntung nasibnya.

Untungnya lagi, ketika tulisannya itu mendatangkan banyak donatur, Eman setia menjaga amanah. Bantuan donatur diserahkan total buat orang atau kelompok sasaran. Disusul pelaporan yang rinci kemana bantuan para donatur itu disalurkan.

Karena kesetiaannya itu, tak sedikit donatur yang menyalurkan berkat bagi kelompok sasaran melalui Eman. Sejak sepuluh tahun terakhir misalnya, Eman setia menyalurkan berkat dari para donatur untuk membantu biaya pendidikan 37 anak di Sumba Barat Daya (SBD).

“Setiap bulan saya kasih donasi secara regular untuk biaya pendidikan mereka,” kata putra seorang guru, Aloysius Bulu Malo (Guru Alo) dan Theresia Bela ini. Ditegaskan,  donasi bulanan itu sesungguhnya bukan uang dari kantongnya sendiri, tapi dari para donatur yang mau memajukan pendidikan di SBD dan percaya bahwa melalui Eman, bantuan itu sampai.

Korupsi merusak martabat manusia

“Mereka percaya kepada saya, karena saya tidak mau tipu-tipu orang. Ini uang mereka, dan saya salurkan dan saya pertanggungjawabkan. Dan ini sudah berlangsung 10 tahun,” tukas Anggota Dewan Paroki Dua Periode Santa Clara, Bekasi Utara (2015-2021) ini.

Pulang kampung  

Setelah hampir 30 tahun merantau ke Tanah Jawa, terutama Jakarta, lulusan Universitas Mercubuana, Jakarta ini memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya. Ini keputusan yang mengalir dari rasa cinta tanah kelahiran. Terutama cinta pada masyarakat kabupaten yang lahir pada 22 Mei 2007, hasil pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat, NTT.

“Saya kembali karena cinta,” kata suami dari Suryani Gultom ini.  Ya, cintalah  yang mendorong  ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka untuk kembali ke kampung halaman.

Cinta, kata Eman, selalu bermuara pada perbaikan hidup dan kesejahteraan hidup orang-orang yang dicintai. Sebagai orang yang mencintai masyarakat di kampung halamannya,  ia tak tega melihat tingkat kesejahteraan kehidupan mereka tak naik-naik, bahkan cenderung menurun.

“Kalau seringkali pulang kampung, kita  melihat sesuatu yang asli kita. Dari dulu begitu-begitu saja, tak ada perubahan signifikan. Lalu mulai muncul pertanyaan, situasi yang selalu ada dari dulu sampai sekarang ini, tentu tidak bisa berubah begitu saja, kalau tidak ada orang yang mau ikut ambil bagian di situ. Dan saya mau ikut ambil bagian dalam perubahan itu,” kata peraih Juara III Menulis Puisi Tingkat  Nasional “100 Tahun Chairil Anwar” (2022) ini.

Bersama istri dan putri semata wayang

Dengan sengaja ia memakai istilah “ambil bagian”, karena orang lain juga sudah melakukan hal yang baik. “Alangkah baiknya kalau keinginan baik ini saya ikutkan bersama mereka maka bisa menambah kekuatan untuk membuat sesuatu yang baik,” tambah Eman yang   akan  mengikuti konstetasi Pileg  tahun  2024  untuk DPRD II Sumba Barat Daya dari Dapil III yang meliputi  Waijewa Barat dan Waijewa Selatan  ini.

Dengan modal integritas moral yang bagus dan terbukti, pemetaan dan pengenalan persoalan masyarakat yang pas dan tajam, Eman masuk  dalam dunia politik lokal untuk ikut memberikan sesuatu yang berarti, khusus untuk dunia pendidikan.

“Anak-anak sekolah itu, kalau kita tidak perhatikan sejak awal, maka satu atau dua generasi ke depan, kita tidak bisa terlalu harapkan perkembangan banyak,” katanya. Selain pendidikan, ia  bertekad ikut meningkatkan  produktivitas kaum petani.

“Saya pulang membawa pikiran, hati, dan seluruh diri saya untuk melakukan hal yang memang harus dilakukan oleh seorang anggota dewan. Anggota dewan itu tak perlu harus hebat. Dia cukup melakukan improvisasi yang baik terhadp tugas yang  sudah ditentukan  oleh Undang-undang  kepada dia. Kalau dia bisa melakukan hal itu, dengan menggunaan dana yang ada dengan pengelolaan yang benar, saya pikir itu sudah istimewa. Dan ini yang akan saya lakukan,” urai penulis beberapa buku best seller antara lain “Orang-orang Hebat; Dari Mata Kaki ke Mata Hati” dan “Takdir Manusia adalah Bekerja Bukan Korupsi” ini. (Paul M Goru).

One Comment on ““Mukjizat” di Jemari Emanuel Dapa Loka”

  1. Sebuah perjuangan moral yang dilakukan karena panggilan kemanusiaan. “Mata Pena yg Tajam menorehkan kasih bagi sesama”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *