JAKARTA,KITAKATOLIK.COM—Keputusan harus segera diambil. Rumah kediaman Mgr. Carlos Pilipe Ximenez Belo, Uskup Keuskupan Dili saat itu, telah diserang dan dibakar. Bahkan Sang Uskup pun sudah meninggalkan istana keuskupan.
Massa yang beringas, banyak darinya bersenjata, berteriak-teriak di depan Kolese Santo Yoseph, Dili. Tempat yang menjadi sasaran berikut setelah Keuskupan. Mereka memaksa agar pintu gerbang segera dibuka.
Dalam kolese tersebut tinggal ratusan pengungsi yang pada umumnya adalah massa pro-kemerdekaan. Mereka melindungi diri dari massa pro-integrasi yang tak bisa menerima kekalahan mereka dalam jajak pendapat. Banyak nyawa telah melayang karena ketidakpuasan mereka. Beberapa pastor telah dibunuh karena dianggap sebagai pejuang pro-kemerdekaan.
Jajak pendapat yang digelar pada 4 Septermber 1999 di Propinsi Timor-Timur memang telah memenangkan secara telak kelompok Pro-Kemerdekaan. Betapa tidak, mencapai 79 prosen. Hanya 29 prosen warga Timor-Timur yang memilih tetap bersama Indonesia. Dan itu membuat massa pro-integrasi, yang ingin tetap berada dalam naungan NKRI, marah atau dibuat marah.
BACA JUGA: Perjalanan Pastor SJ Pertama dari Indonesia Bagian Timur https://www.kitakatolik.com/perjalanan-pastor-sj-pertama-dari-indonesia-bagian-timur/
Oh ya, massa pro-kemerdekaan memilih mengungsi ke Kolese Santo Yoseph karena selama ini sekolah tersebut dialami sebagai zona damai. Apalagi di situ ada seorang pastor, seorang Indonesia yang bisa berdialog dengan baik, entah dengan milisi pro-integrasi, maupun dengan Fretelin. Dialah pastor Eduard Calista Ratu Dopo, SJ.
Menemui milisi
Pilihan cuma dua. Berdiam dalam kolese dengan resiko digempur. Atau keluar menemui milisi bersenjata lengkap untuk melakukan negosiasi? Romo Edu memilih yang kedua. Setelah terlebih dahulu berpesan bahwa kalau ia tidak kembali, maka silahkan lari menyelamatkan diri karena masih ada peluang selamat kepada para pengungsi, romo Edu pun keluar menemui pasukan sipil bersenjata.
Mata mereka memerah. Bila gelap mata, romo Edu niscaya didor saat baru saja membukakan gerbang. Tapi bersyukur, hal itu tak mereka lakukan. Meski diwarnai kemarahan, tetap terjadi tanya-jawab.
“Kenapa kamu tutup gerbangnya. ‘Kan mereka itu Fretelin semuanya? tanya salah seorang dari mereka dengan suara kasar.
“Saya ini pastor dan religius, jadi siapa saja saya bela bila datang untuk meminta perlindungan. Termasuk kamu juga, bila suatu saat kamu pun meminta perlindungan. Di dalam itu kamu punya keluarga semuanya. Kalau saya lebih lama merah putih dari pada kamu,” jawab romo Edu sambil memantau gelagat dan menghitung-hitung peluang.
“Kamu dari mana?” tanya mereka lagi, dalam nada masih keras.
“Dari sebelah. Saya dari Flores. Saya lebih dahulu Indonesia dari pada kamu,”jawab romo Edu,t tenang. Ketika mereka kembali menanyakan alasan pembelaan romo terhadap para pengungsi di Kolese Santo Yoseph, romo Edu lagi-lagi menjelaskan bahwa yang dibela adalah umat yang membutuhkan perlindungan.

“Bilamana kamu mendapat kesulitan, saya bela kamu juga,” katanya. Beberapa orang dari mereka sempat melontarkan kata-kata kasar.
“Kamu ini ‘kan orang Katolik. Saya ‘kan biasa bagi kamu komuni dan kamu terima dari tangan saya. Kalau di dalam itu ‘kan kamu punya keluarga, kamu punya orangtua. Kalau saya ‘kan orang NTT. Saya bisa pergi,” tambahnya.
Perlahan, beberapa milisi bersenjata yang bermata merah menyala itu pun meninggalkan tempat tersebut. Romo Edu pun kembali ke dalam kolese Santo Yoseph.
Langsung “didor”
Romo Edu memang lebih beruntung dibanding beberapa teman pastor lainnya. Tanpa komunikasi, tanpa dialog, mereka langsung didor. Sebut misalnya romo muda Tarcisius Dewanto SJ dan Romo Hilario Madeira Pr. yang ditembak bersama para pengungsi di Gereja St Maria Suai, Timor Leste pada 6 September 1999.
“Mustinya nasib saya sama seperti mereka karena kemarahan mereka itu sama. Saya sudah siap. Berarti saya masih mujur,” kata Romo Edu.
Menurut dia, pengalaman negosiasi dengan para milisi bersenjata yang sedang marah itu menjadi pengalaman paling berkesan dalam kehidupan imamatnya. (pamago)