JAKARTA, KITAKATOLIK.COM—Sebagai “rumah bersama”, bumi tempat kita hidup ini, harus dipelihara dan dijaga kelestariannya. Tapi pola interaksi kita dengan bumi justru menampakkan sikap yang sebaliknya. Kita terus melukainya, merusaknya dengan melakukan dosa-dosa terhadap lingkungan.
Bertolak dari Ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2015, pastor Dr. Andang Listya Binawan SJ menyebut tiga jenis “dosa” terhadap lingkungan yang seringkali tak sadar dilakukan. Ketiga dosa itu adalah keserakahan, ketidakadilan dan tidak mau repot.
“Salah satu pokok utama yang disampaikan oleh Paus dalam Ensiklik Laudato Si itu adalah soal throw-away culture atau budaya gampang membuang. Budaya ‘gampang membuang’ ini merupakan salah satu wujud dari dosa ekologis, terutama keserakahan,” kata dosen Hukum Gereja Sekolah Tinggi Driyarkara ini.
Agar lingkungan tetap lestari dan membawa kesejahteraan bagi segala makhluk, alumnus The Catholic University of America dan Katholieke Universiteit di Leuven, Belgia, ini meminta semua pihak melakukan pertobatan ekologis.
Menaruh pada tempatnya
Untuk umat Keuskupan Agung Jakarta konsentrasi utama diberikan pada disiplin membuang sampah. Mengapa sampah? “Karena sampah berkaitan dengan tiga masalah besar yang ada di Jakarta yaitu polusi air, polusi udara dan polusi tanah,” kata Pastor Andang.

Sampah, kata pastor Andang, harus ditaruh pada tempatnya. “Slogan kita adalah taruh sampah, jadikan berkat. Sampah itu ditaruh, bukan dibuang. Sampah itu mempunyai nilai, makanya ditaruh,” ujarnya.
Umat diajak untuk menaruh sampah pada tempatnya, dipisahkan antara sampah organik dan anorganik. Dengan memilah, sampah organik menjadi hak dan berkat bagi bumi, bagi binatang-binatang dalam tanah, terutama cacing-cacing. Ketika cacing-cacing itu gemuk dan banyak, tanahnya menjadi lebih gembur. Kalau lebih gembur, oksigennya lebih banyak dalam tanah. Kalau oksigen dan airnya banyak di dalam tanah dan subur, akar-akar pohon pun lebih mudah mencari makan.
“Kalau dalam air ada air, ada oksigen, yang bahagia ya pohon-pohon karena menjadi subur. Kalau pohon-pohon subur, yang diberkati adalah manusia dan makhluk hidup seluruhnya,” kata Pastor Andang.
Lalu bagaimana dengan sampah anorganik seperti plastik, kardus, kertas dan sebaginya? “Ya, dipisahkan, plastik sendiri, kertas sendiri dan jangan dicampur kuah bakso misalnya. Kalau kemudian diberikan atau dijualkan kepada pemulung dalam keadaan bersih, tidak tercampur kuah, mereka senang. Kalau orang seang ya berkah. Jadi taruh sampah jadikan berkat.”
Kurangi pakai plastik
Jakarta semakin menggunung. Di Jakarta saja sudah mencapai 8000 ton sehari. Dan 1500 ton bersifat plastik dan styrofoam yang sulit sekali didaur ulang dan membutuhkan waktu 100 sampai 150 tahun untuk hancur. Bila tidak dikurangi pemakaiannya, maka bumi kita akan terus ditumpuki sampah.
“Makanya selain taruh sampah jadikan berkat, kita di KAJ juga punya program antiform atau anti plastic dan styrofoam. Kita bukan anti plastik, tapi harus dengan sadar mengurangi penggunaannya. Memang akan membuat kita sedikit repot, tapi kalau mau menyelamatkan bumi, ya kita harus lakukan,” katanya.
Dalam kaitan itu, demikian Pastor Andang, kita mendukung kewajiban bagi membayar plastik belanja saat belanja di mal-mal atau minimarket dan uangnya dipakai untuk program pemeliharaan lingkungan.
“Kita tidak persoalkan bagaimana menyalurkan uangnya. Tapi tujuannya yaitu menyadarkan masyarakat bahwa pemakaian plastik itu memang harus dibatasi. Yang penting itu timbulnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi pemakaian plastik. Bahkan kalau dibuat 10 ribu lebih baik lagi, supaya orang tahu bahwa kita harus bawa kantong dari rumah sendiri.”
Upaya lain yang digulirkan KAJ adalah hadirnya makin banyak paroki ramah lingkungan dengan 12 ciri khasnya. Salah satunya, kalau bisa dekorasi altarnya pun mengurangi pemakaian bunga dan diganti dengan bunga atau tanaman hidup yang bisa dipakai berulang-ulang. (Paul MG)