Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia. Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan –dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri–, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” (Lukas 2:33-35).
Oleh: Romo John Tanggul, Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng.
“BERAKIT-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” atau “bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian!” Itu pepatah tua yang berarti melalui hal-hal yang susah atau penderitaan barulah kita mengalami kesenangan, kemuliaan, kebahagiaan. Tiada kesenangan, kemuliaan, kesuksesan, kebahagiaan yang terjadi begitu saja tanpa usaha, keringat, penderitaan, dan pengorbanan.
Hari ini Gereja Katolik merayakan Pesta Santa Perawan Maria Berdukacita. Pesta ini mengingatkan kita akan perjalanan atau perziarahan hidup Maria ketika mengambil bagian dalam misteri penyelamatan umat manusia (kita) oleh Allah.
Sudah sejak awal ketika ditawarkan rencana penyelamatan itu hingga karya keselamatan itu dikerjakan secara tuntas oleh Yesus, Puteranya, Maria mengalami hidup yang sangat menyakitkan hatinya (pengalaman kedukaan yang menyakitkan), antara lain dalam Injil hari ini: Saat Simeon meramalkan kejadian yang akan menimpa Yesus: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri …” (Luk. 2:34-35).
Atau pada kesempatan lain: Saat pengungsian di Mesir; saat bersama Yosef mencari Yesus yang “menghilang” di antara orang banyak di Yerusalem; saat bertemu Yesus di kaki salib; saat Yesus wafat; saat Yesus dibaringkan di pangkuannya; dan saat Yesus dimakamkan.
Rentetan pengalaman dukacita ini dihadapi Maria dengan kesetiaan dan ketaatan yang sempurna kepada rencana dan kehendak Allah. Ia berdiri dan berjalan dalam iman, harap dan kasih. Satu demi satu derita itu ia alami dan hadapi dengan satu sikap yang mantap yaitu dengan iman, harap dan kasih yang mendalam ia “menerima, menyimpan semuanya dalam hati dan merenungkannya”. Dukacita yang datang silih berganti semakin mendewasakan jawaban “ya”-nya pada rencana dan kehendak Allah. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendakMu”.
Dukacita merupakan pengalaman hidup kita juga, orang kristiani dan mungkin kita cenderung untuk menghindarinya. Hari ini kita patut belajar dari Bunda Maria yang selalu menerima dan menanggung penderitaan dalam kesetiaan dan ketaatan kepada kehendak Allah. Menanggungnya dalam sikap iman, harapan dan kasih kepada rencana dan kehendak Allah. Berdiri dan berjalan dalam kesetiaan dan ketaatan kepada rencana dan kehendak Allah. Berdiri dan berjalan dalam iman, harap dan kasih kepada rencana dan kehendak Allah. Tuhan, tambahkanlah ketaatan dan kesetiaan kami; tambahkanlah iman, harap dan kasih kami!
Semoga dengan bantuan doa Bunda Maria berdukacita, Allah Tritunggal Mahakudus (+) memberkati kita yang telah berdiri dan berjalan dalam ketaatan, kesetiaan dan iman, harap dan kasih kepada rencana dan kehendak Allah. Amin.