KITAKATOLIK.COM—Meskipun di sana-sini muncul sporadis upaya-upaya pengingkaran terhadap kebhinekaan Indonesia – seperti pemakaian istilah kafir secara massif – Indonesia akan tetap berdiri berdasarkan Panasila dan UUD 1945. Jaminan atas kebebasan beragama dan beribadah pun akan terus terjaga.
“Saya pribadi berpendapat bahwa Indonesia akan semakin islami. Tetapi bisa tetap Pancasila, dan bisa tetap bebas beragama,” kata Pastor Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ. dalam Seminar Ignasian bertajuk “Mengalami Kehadiran Tuhan dalam Kebhinnekaan” yang digelar dalam rangka pelaksanaan Ardas KAJ 2018 “Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia” di Aula Santa Maria Lt. 3, Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Paroki Tangerang, Sabtu (3/2/2018) lalu.
Optimismenya itu bertolak dari kenyataan bahwa Islam Indonesia punya tradisi yang toleran. Tradisi toleran itu merupakan sesuatu yang asli dan bukan diimport dari Barat. “Kita akan memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai orang Katolik. Bahkan muslim garis keras pun tak menolak kehadiran agama lain,” katanya.
Dalam Seminar yang dihadiri oleh umat Paroki Tangerang dan paroki-paroki sekitarnya itu, Pastor Magnis berbagi kiat atau strategi merawat hubungan positif dengan umat mayoritas.
Yang pertama, kehadiran kita harus memberikan keuntungan atau bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Ia mencontohkan, di suatu paroki, ada yang menyelenggarakan misa di luar gereja karena masih terkendala perijinan. Kemudian ada sekolompok muslim dari tempat yang jauh ingin mendemo dan mengganggu. Tapi para pendemo ini mendapatkan hadangan dari umat muslim setempat. Hal tersebut terjadi karena mereka juga mendapatkan keuntungan dari kehadiran gereja di tempat tersebut.
“Jadi yang penting, orang musti merasa bahwa kehadiran umat Katolik merupakan asset bagi kehidupan bersama. Kehadiran kita harus menjadi sesuatu yang positif bagi masyarakat lain. Kita harus menjadi rahmat bagi yang lain. Yang lain harus merasakan bahwa keberadaan katolik merupakan rahmat bagi masyarakat Indonesia,” kata pastor yang sejak dulu aktif dalam komunikasi lintas agama ini.
Kedua, hindari kehadiran yang provokatif. Menurut pakar etika politik yang mengajar di banyak Perguruan Tinggi ini, kehadiran dan kegiatan kita juga jangan provokatif. Di daerah yang sangat islami, berusahalah menghindari kegiatan yang menggangu kenyamanan umat lain. “Kalau kita di daerah yang sangat islami, seperti di Ambarawa, membangun patung Dewi Maria 46 meter, dengan harapan masuk Guinness World Record, apa ini tidak memprovokasi? Saya berdiri di depan mau berdoa tidak bisa karena leher saya harus tengadah ke atas. Nah dari kita dituntut peka terhadap perasaan mayoritas. Hadirlah dengan cara-cara yang tidak dianggap provokasi.”
Ketiga, bekerjasama dengan umat mayoritas. Bercermin pada kasus penolakan kegiatan Bansos di Bantul, Yogyakarta, Pastor Magnis merekomendasikan pentingnya bekerjasama dengan umat Muslim dalam melaksanakan karya-karya kemanusiaan. Ia mencontohkan kejadian pasca tsunami Aceh.
“Waktu lembaga gereja lain membantu di Aceh setelah tsunami, mereka mengalami sedikit kesulitan. Tapi waktu Pastor Is Martono SJ dengan KWI membantu intensif terhadap korban Tsunami, tidak mengalami kesulitan apapun karena melibatkan beberapa LSM muslim. Jadi kita perlu bekerjasama dengan kaum muslim dalam mengerjakan kerja-kerja kemanusiaan, sehingga tidak dituduh bahwa itu dari Katolik.”
Keempat, menjalin komunikasi dengan tokoh maupun kelompok agama lain. Ia memuji langkah Uskup Agung Jakarta Mgr. Suharyo yang mendesak para romonya supaya mereka berkomunikasi dengan tokoh dan umat muslim di wilayah masing-masing.
“Tidak usah ditanyakan apakah dia dari NU, dari Muhammadya, garis keras atau garis lembut. Yang penting harus saling mengenal untuk membangun pengertian.” (PM)