BELU,NTT,KITAKATOLIK.COM—Banyak Sekolah Katolik, terutama di wilayah Indonesia Bagian Timur, mengalami kendala operasional bahkan ada yang “hidup enggan, mati tak mau” kerena kekurangan biaya. Terutama karena kondisi ekonomi keluarga yang terlilit kemiskinan.
Dalam kondisi ekonomi yang demikian, apa saja strategi yang ditempuh oleh sekolah-sekolah pedalaman untuk meningkatkan kesejahteraan sekolah-sekolah mereka? Bagaimana Yayasan Katolik menyiasati kesulitan ekonomi yang mereka alami?
“Kita melakukan pendekatan tiga poros,” kata Vinsensius Brisius Loe, Ketua Yayasan Pendidikan Katolik Astanara, Keuskupan Atambua, NTT yang juga dipercaya sebagai Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Belu, NTT ini.
Tiga poros
Ia meyebut adanya tiga poros pengembangan sekolah yaitu poros pemerintah, poros warga dan poros bisnis. Pertama, poros pemerintah, yaitu tentang bagaimana menjadikan pemerintah sebagai mitra yang baik bagi sekolah-sekolah Katolik.
“Kita bisa berkomunikasi lewat Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk membantu sekolah-sekolah kita, baik dalam sarana-prasarana maupun operasinal sekolah,” kata alumnus Seminari Tinggi Santo Petrus, Ritapiret ini.
Kedua, poros warga. Dalam kaitan ini, kata Vinsen, kita harus betul-betul meyakinkan mereka bahwa sekolah katolik itu adalah sekolah yang bagus, bermutu dan sangat menjanjikan.
“Kita bisa lakukan dalam pertemuan melalui orangtua, komite sekolah, guru dan lain-lain. Kita yakinkan dan berupaya agar warga bisa mencintai sekolah kita. Jadi soal bagaimana sekolah katolik itu menjadi sekolah yang baik dan mengkaderkan mereka,” jelasnya.
Dan yang ketiga, poros bisnis. Kita, kata Vinsen, tidak bisa hanya berharap pada orang tua. Kita harus buka poros bisnis untuk meningkatkan ekonomi dari yayasan. Untuk membiayai program yang cerdas supaya guru yang lemah, yang kurang mampu, bisa ditingkatkan kemampuannya.
Lalu bagaimana membangun poros bisnis? Salah satu caranya dengan mengatur penggunaan dana BOS yang memang diperuntukkan untuk 14 item. Menurut ketentuan terakhir, dana untuk gaji atau honor guru yang telah masuk dalam Dapodik mencapai 50 prosen dari dana BOS. Menyusul untuk ujian, perbaikan sekolah, perbaikan kecil, ATK dan sebgainya.
Pengaturannya bagaimana? “Kita buka toko koperasi yang menyediakan seragam sekolah, buku, sepatu dan sebagainya. Kita wajibkan mereka ambil di toko kita, dan ‘keutungannya’ nanti digunakan untuk pelatihan guru, atau menaikkan pendapatan guru honorer,” kata Vinsen.
Terkait poros bisnis ini, yayasan bisa bekerja sama dengan pemerintah lewat proposal untuk membantu yayasan. Tujuannya agar sekolah-sekolah ini bisa bersaing dan menang, bukan hanya di kandanng sendiri, tapi juga di luar kandang. Yang akhirnya bisa berdampak bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Terbukti
Khusus terkait poros kedua, yaitu poros warga, Vinsen menegaskan bahwa sekolah-sekolah katolik, terutama di Belu, telah lama membuktikan dirinya sebagai sekolah yang berkualitas.
“Sekolah-sekolah kita sudah menciptakan orang hebat seperti bupati, camat, dan posisi-posisi strategis lainnya dalam pemerintahan maupun swasta. Itu indikasi kualitas,” kata politisi Partai Nasional Demokrat atau Nasdem ini.
Tak hanya mutu intelektual, tapi integritas dan moralitasnya pun terbukti baik. “Sekolah-sekolah kita telah melahirkan orang-orang baik seperti pastor, suster dan sebagainya. Itu semua lewat sekolah-sekolah swasta,” katanya. Tak sedikit pula yang berhasil lolos dan mengikuti festival intelektual, baik di level Provinsi, Kupang, maupun di Jakarta. (Admin)