KITAKATOLIK.COM—Konflik akan tetap ada selama ada manusia. Meminjam sosiolog Lewis A. Coser, konflik dipahami sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Selain ingin memperoleh barang yang diinginkan, pihak-pihak yang sedang berselisih juga ingin memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.
Konflik juga mewarnai perjalanan hidup bangsa Indonesia, terasa sangat kuat di era pasca reformasi tahun 1998. Selain berlatar perebutan harta atau pengaruh (kekuasaan), konflik juga berlatar perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Mulai dari kerusuhan anti-Tionghoa di Jakarta, konflik antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah serta konflik etnis-agama di Maluku dan Poso. Belum lagi konflik berlatar beban sejarah seperti di Papua.
Pola pendekatan konflik sosial yang diterapkan selama Orde Baru dengan model pendekatan keamanan dan militeristik, ternyata tidak mampu menangani konflik-konflik tersebut. Dalam berapa kasus, konflik baru tuntas diselesaikan setelah melalui pendekatan budaya yang populer disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom).
Dimengerti sebagai pengetahuan yang dikaitkan dengan suatu tempat, dan seperangkat pengalaman, dan dikembangkan oleh masyarakat lokal (Ellen, Parker dan Bicker, 2005), pendekatan kearifan lokal ini telah terbukti meredam dan bahkan menyelesaikan koflik-konflik sosial.
Sebut misalnya Diyat, sebuah bentuk kearifan lokal masyarakat Aceh untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Pela gandong, bentuk kearifan lokal Maluku, yang terbukti kotributif bagi penyelesaian tuntas konflik berdarah-darah berlatar perbedaan agama di Maluku. Lalu kearifan lokal Sintuwu Maroso (persatuan yang kuat) yang juga terbukti berkontribusi dalam penyelesaian konflik agama di Poso.
Meski bukan faktor tunggal suksesnya penyelesaian konflik di beberapa daerah itu, makin kuat keyakinan masyarakat, terutama para pencinta perdamaian dan pegiat rekonsiliasi bahwa kekayaan budaya setempat (local wisdom) sangat efektif dalam penyelesaian konflik. Juga mendorong kelompok intelektual yang konsern pada masalah konflik, perdamaian dan rekonsiliasi untuk menggali kekayaan budaya-budaya lain yang kontributif bagi penyelesaian atau resolusi konflik.
Salah satunya adalah Pastor Dr. Rofinus Neto Wuli,Pr., S.Fil., M.Si (Han.). Melalui buku “Manajemen Konflik Berbasis Budaya: Dari Ngada untuk Indonesia”, Romo Rony, begitu ia biasa disapa, menggali dan memaparkan kearifan lokal masyarakat Ngada, yang kontributif bagi penyelesaian konflik, baik di daerah Ngada maupun bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dalam buku setebal 265 halaman dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas pada 3 September 2022, bertepatan dengan HUT imamatnya yang ke-25, doktor dalam bidang kepemimpinan ini mengungkap kearifan lokal masyarakat Ngada, salah satu suku di Flores, NTT dalam menyelesaikan konflik yang dimiliki masyarakat Ngada.
Melalui buku berisi lima bab dengan Kata Pengantar dari Bupati Kabupaten Ngada Andreas Paru SH., MH dan Epilog dari Brigjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si ini, pastor Roni membentangkan tiga hal terkait kerarifan lokal budaya Ngada itu. Pertama, kekuatan budaya dan nilai-nilai keagamaan pada masyarakat Ngada yang dihayati dalam mengolah konflik. Kedua, keutamaan nilai-nilai agama dan unsur-unsur kearifan lokal dalam budaya Ngada yang dapat menjadi modal dasar ketika menghadapi konflik sosial. Dan ketiga, peran para pelaku (aktor), baik state-actors, civil society-actors, cultural-actors, maupun religious-actors, dalam proses resolusi konflik yang terjadi di daerah Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Terkait kearifan lokal Ngada, penulis yang berasal dan dibesarkan dalam kultur Ngada yang kuat ini memaparkan beberapa tiang kearifan lokal masyarakat Ngada yang terbukti efektif memelihara perdamaian dan mencegah tergelincirnya peristiwa konflik menjadi tindakan destruktif.
Disebutkan antara lain doa dan tradisi lisan, narasi kemanusiaan dalam ritual perdamaian, dan hadirnya lembaga adat yang mendukung multikulturalisme. Salah satu contoh tradisi lisan yang sangat kuat mengekspresikan kecintaan masyarakat pada perdamaian adalah salah satu Pata Dela yang bila diterjemahkan berarti demikian: “Mari berbuat baik dengan teman // Mari berlembut hati dengan sesama // Bagai daun-daun muda // Yang melingkupi pucuk-pucuknya // Agar hidup penuh kebahagiaan. // Berdamailah dengan tetangga // Berbagilah dengan mereka di lingkungan sekitar // Makanlah bersama-sama // Minum juga mesti berbagi // Itulah pesan dan warisan terindah lelulur.
Melalui Pata Dela ini tampak bahwa salah satu kearifan lokal ini selaras dengan inti ajaran Katolik, agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Ngada, yaitu cintakasih, solidaritas dan peraudaraan yang kuat.
Membaca buku ini, kita akan dihantar ke khazanah nilai-nilai dan praktek hidup orang Ngada yang cinta damai. Pembaca juga akan diperkaya dengan konsep serta seluk beluk pengetahuan tentang konflik, manajemen konflik dan budaya damai dari para pemikir dunia (Bab II). Pesan buku ini kian kuat oleh kesaksian dari beberapa “kaum minoritas” yang merasa damai hidup di tengah masyarakat Ngada yang setia pada kearifan lokalnya.
Semoga kehadiran buku ini bisa merangsang para pemikir dan peneliti lainnya untuk menggali kearifan-kearifan lokal yang kontributif bagi perdamaian dan toleransi dari daerahnya masing-masing. Juga menguncang para penganut budaya tertentu untuk mencintai dan memanfaatkan nilai-nilai budayanya untuk mengatasi problematika masyarakat masa kini. (Paul MG).