Tolak Seorang Warga Katolik, Masyarakat Diminta Hapus Segregasi Sosial

YOGYAKARTA, KITAKATOLIK.COM—Sosok seorang pelukis Katolik, Slamet Jumiarto, tiba-tiba menjadi perhatian publik. Bukan karena karya seninya, tapi karena drama penolakan aparat desa atas kehadirannya di Dusun Karet, RT 8, Desa Pleret, Bantul karena perbedaan agama.

Seperti diberitakan beberapa media, pada Jumat (29/3/2019), Slamet pindah ke salah satu kontrakan di dusun tersebut. Sebelum menempati rumah tersebut, Slamet mengaku sudah menginformasikan dan melakukan konfirmasi kepada pemilik rumah maupun yang mencarikannya, bahwa dia tak beragama islam (non-muslim). Dan dijawab tak apa-apa.

Pada Minggu (31/3), pria berusia 42 tahun ini, lalu melaporkan kepindahannya ke Ketua RT dengan menyerahkan fotokopi KTP, KK, hingga surat nikah. Mengetahui bila Slamet beragama Katolik atau non-muslim, ia pun ditolak oleh Ketua RT dan Kepala Dukuh.

“Kemudian paginya saya ketemu ketua kampung, itu pun ditolak. Kemudian saya ingin ketemu Pak Dukuh, cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya, belum tahu namanya,” jelas Slamet. Karena terlampau emosi, ia kemudian langsung melaporkan hal tersebut ke sekretaris Sultan Hamengkubuwono X.

Slamet lalu dipanggil ke kantor Sekda DIY kemudian ke Sekda Bantul. Kemudian ke kantor Desa Pleret. “Di sana saya ketemu Pak Lurah. Kemudian  Pak Dukuh, Ketua RT dipanggil. Musyawarah, tapi ditolak,” jelas Slamet.

Setelah melakukan mediasi dengan warga pada Senin (1/4/2019) malam, beberapa sesepuh warga pun memperbolehkan Slamet tinggal di situ. Namun Ketua RT bemberikan opsi agar Slamet hanya tinggal di situ selama 6 bulan.

Slamet menolak karena dia telah menghabiskan dana Rp. 4 juta untuk kontrak selama setahun. “Itu penolakan halus namanya,” kata Slamet. Ia mengaku mengalah asalkan surat mereka itu direvisi.

“Keharusan supaya warga pendatang yang ngontrak atau tinggal harus beragama Islam yang tertulis di surat peraturan itu, jelas bertentangan dengan idiologi Pancasila dan Undang-undang,” jelas Slamet.

Peraturan tersebut didasarkan pada Surat Keputusan Pokgiat tentang Persyaratan Pendatang Baru di Padukuhan Karet. Dalam surat yang dibuat pada 19 Oktober 2015 dan ditandatangani Ketua Pokgiat dan Kepala Dusun Karet itu disebutkan bahwa salah satu syarat pendatang baru di Dusun Karet dalam  surat tersebut ialah harus beragama Islam. Tertuang pula bahwa penduduk Pedukuhan Karet juga keberatan menerima pendatang baru yang memeluk kepercayaan di luar Islam.

Desak Dicabut

Bupati Bantul Suharsono langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet tersebut dicabut. Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY, melalui Sekda DIY, menyampaikan hal serupa.

Banyak pihak menolak perarturan yang diskriminatif tersebut. Mengindikasikan bahwa perarutan di tingkat lokal seperti itu tidak hanya berlaku di Pleret, Bantul, SETARA Institute menyampaikan keprihatinan mendalam.

“Ketentuan-ketentuan demikian nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral (moral injury) atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan. SETARA Institute mendesak pemerintah agar menghentikan eksklusi terhadap minoritas, dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif,” tulis siaran pers SETARA Institute yang diterima redaksi.

Lembaga advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan ini juga meminta pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet.

“Di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasar agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan. Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda,” tegas SETARA.

Mereka mendesak pemerintah untuk segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia. (Admin). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *